PEREKONOMIAN INDONESIA
I.1 Latar Belakang
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami
beberapa fase.Salah satunya
adalah zaman
pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat
dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya
hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah
untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai
masuk kembali keIndonesia.PMA dan bantuan luar negeri
setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari kebijakan
tersebut terutama adalah
untuk menekan kembali tingkat inflasi,mengurangi defisit keuanganpemerintah dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde
lama.Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat
prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping kelebihan-kelebihan
tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru
memang telah membuat pertumbuhan ekonomi
meningkat pesat,tetapi
dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor
perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing,termasuk pinjaman
dan impor.Inilah yang akhirnya membuat Indonesia
dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya rupiah
semakin menjadi ketika terjadi
penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tangga l4 Mei 1998.
Sejak berdirirnya orde baru tahun
1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis
ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan
dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini
terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei
1998,hancurnya sektorperbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi,
sosial, maupun politik.Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis
moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
II.1 SEJARAH
Asia menarik hampir
setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi,Thailand, Indonesia dan
Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan
kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke
keterbukaan yang berlebihan dari risiko pertukaran valuta asingdalam sektor
finansial dan perusahaan. Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan
Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai
kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an
setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang
Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik
nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari produsen yang lebih murah dan menemukannya
di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan tahun 1997 dan memengaruhi
mata uang, pasar bursa, dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai
dari kejadian diAmerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam
keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola
salju. Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah
meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial
yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan
lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh
shock riskyang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang
ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan
Frederic Mishkinmenunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial
yang menuju ke "mental herd" di antara investor yang memperbesar
risiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan
keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
II.2 Krisis Ekonomi Asia
Thailand
Dari 1985 sampai 1995,
Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada tanggal 14-15Mei 1997, mata
uang baht, terpukul oleh
serangan spekulasi besar. Pada tanggal 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit
Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi
administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada
2 Juli. Pada 1996, "dana hedge" Amerika telah menjual $400 juta
mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997,baht dipatok pada 25 kepada dolar
AS. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah
di 56 ke dolar AS pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997.
Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesarbangkrut. Pada 11 Agustus,
IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS (kira-kira
160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout"
sebesar 3,9 miliar dolar AS.
Filipina
Bank sentral Filipina
menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi
pada 19 Juni. Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada 3 Juli, bank sentral
Filipina dipaksa untuk campur angan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina,
menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.
Hong Kong
Pada Oktober 1997, dolar
Hong Kong, yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena
inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pejabat
keuangan menghabiskan lebih dari US$1 miliar untuk mempertahankan mata uang lokal.
Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya
dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23
Oktober,Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas Moneter Hong Kong berjanji
melindungi mata uang. Pada 15 Agustus 1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8
persen ke 23 persen dalam satu malam.
Korea Selatan
Korea Selatan adalah
ekonomi terbesar ke-11 dunia. Dasar makroekonominya bagus namun sektor banknya
dibebani pinjaman tak-bekerja. Hutang berlebihan menuntun ke kegagalan besar
dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar
Korea,Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia,
Moody's menurunkanrating kredit Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997,
dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember. Yang menyebabkan penurunan lebih
lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul
jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan terbesar
yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November, saham jatuh lagi
7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998,
Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.
Malaysia
Pada 1997, Malaysia
memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan
Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator. Malaysia mengambangkan mata
uangnya pada 17 Agustus 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari
kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu
kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank, bank terbesar Malaysia. Di
hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856 point, titik terendahnya
sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir bin
Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir
1997 ketika Mahathir bin Mohamadmengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan
10 miliar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa.
Pada 1998, pengeluaran
di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi
menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun
6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari
krisis ini dengan menolak bantuan IMF.
Indonesia
Pada Juni 1997,
Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki
inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan
mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang
baik.Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun
berikut, ketikarupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik
untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya
finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli,
Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur
perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus.
Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran
mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23
miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang
perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa
Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan
hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah
dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek
dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang
meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan
oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu:
menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan
peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada
Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak
cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi
presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
Singapura
Ekonomi Singapura
berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain
di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan
ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya.
Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan
secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai
pelajaran bagi negara tetangganya.Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura
terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi
sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka,
pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk
menghindari potensi penyerangan speklulatif.
Tiongkok daratan
Republik Rakyat Tiongkok
tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan
kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan
bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki masalah
"solvency" parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di
bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.
Amerika Serikat dan
Jepang"Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan
Jepang. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat.Pada 27 Oktober 1997,
Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi
Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke
jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.Jepang terpengaruh karena
ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya
menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali
lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali
lipat RRT.Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP
melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada
1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.Laos terpengaruh
ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu
dolar AS.
II.3 Konsekuensi Krisis
Asia
Krisis Asia berpengaruh
ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara
Asia.Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang
terpengaruh besar oleh krisis ini.Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan
politk, paling tercatat dengan mundurnyaSuharto di Indonesia dan Chavalit
Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan
IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis
finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set
"Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik
yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRT.Krisis
Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis
Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.Krisis ini telah
dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan,
dinamismenya; dia memengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan
berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar
ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir,
meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah
menimbulkan ledakan di pelajaran tentangekonomi finansial dan
"litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik
menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia
Joseph Stiglitz.
Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini,
kewenangan menjalankan anggaran
negara tetap ada pada
Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat
dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia
setengah dewa”).Namun tiap-tiap masatiap mendalam kebijakan-kebijakan sejak
Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan
yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke masa yang akan datang.
II.4 Krisis Moneter di
Indonesia dari Segi Ekonomi
Orde lama
(Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca
Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan
pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat
tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga
mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata
uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade
ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan
luar negeri RI.
c. Kas negara
kosong.
d. Eksploitasi
besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman
Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan
BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade
dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura
dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi
Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi
dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning
Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan Rasionalisasi
Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang
intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan
yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(mengikuti Mazhab Fisiokrat :
sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia
telah mengalami beberapa fase.Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru
hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan
ini,dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali
membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan
pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal
mulai masuk kembali ke Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus
meningkat.Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali
tingkat inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa
orde lama. Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni
Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.Namun disamping
kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde
baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat
pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan
fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi
sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia
terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat
Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya
rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.Sejak
berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan
tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada
tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis
sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan
mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor
perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun
politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang
berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang.
2. Masa Demokrasi
Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam
politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang
menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah
dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka.
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin,
yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah
uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet
Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha
ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa
bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi
Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak
atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli
1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini
belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang
diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi
Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang
dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.
Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,
tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi.
Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan
angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu
diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada
masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga
sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem
demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur
(sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
- Orde Baru/ Orba
(Demokrasi Pancasila)
Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di
Indonesia adalah adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada
tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing,
khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan
Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi
US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November 1997)
sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga
sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi.
Namun kenyataan dilapangan, bank-bank
menaikanleading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable
pundsmengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran
likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada
tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998 Krisis nilai tukar / krisis moneter
merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis ekonomi pada tahun
1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat rendah
dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan
perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis
perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to
Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan sampai 40% dana
perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan bisnis. Dana
perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil. Sebagai kebalikan
aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat dengan
berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi
sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak
hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis
polotik.
Seperti yang dikemukakan
berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda
Indonesia sejak Juli
1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1.
Krisis Moneter, Indikatornya :
a.
Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b.
Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c.
L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d.
Uang beredar terus meningkat.
2.
Krisis Perbankan, Indikatornya :
a.
Likuidasi bank ditutup
b.
Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c.
Bank beku operasi dan bank take over
d.
Utang luar negeri yang membengkak
e.
Tingkat suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f.
Tingkat suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g.
Utang bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
3.
Krisis Ekonomi, Indikatornya :
a.
Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b.
Stagnasi di sector riil
c.
Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun
1998)
d.
PHK di berbagai sector riil.
Krisis pertama yang dialami Indonesia masa
orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian
besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966
kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit
anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI
meningkat tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962
menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi
juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar
negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang
sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi
kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk
perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).Krisis kedua adalah laju
inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya
jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi
memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah
sebesar 50% pada November 1978.Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis
perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa
bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit
macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka
maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga
terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.
(Tambunan,1998)
Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi
Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun
tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang
terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor
Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang
meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian
Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat
spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah
(Tambunan,1998).Sumber: Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar Dari tahun
1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge
Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997,
baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997,
nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para
investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap
prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk
mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan
intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2
Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan
dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF.
Pengumuman ini menyebabkan nilai bath
terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath
per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh
dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti
itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar
AS.Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan
beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis
keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan
menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke
rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar
rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS.
Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada
saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah
sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin
menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar
rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk
membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan
dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket
bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya
paket bantuan IMF itu, yang dalampenggunaannya banyak terjadi penyelewengan,
semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.Krisis
Rupiah Hingga Krisis Ekonomi
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia
yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan
berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris
(1998), “Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang
paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah
terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa
kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang
bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang
jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran
baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula”
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa
kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti
Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya
tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca
perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar
properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali.
Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar
AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha
didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan
dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko
perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta
pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat
longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.Anggapan
Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi
karena krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod (1998), krisis
rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah
dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan
moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
| |
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
| |
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator
ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in
Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997
BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun
pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal
13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari
Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang
intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS.
Tetapi terkadang nilai
rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988
nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya,
antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar
AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00
dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei
1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara
Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga
5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang
paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia
lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode
tersebut.
Perubahan Nilai Tukar
Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98.
Negara
|
US$/100 Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan (%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Serosot sejak bulan Mei
1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dSumber
:Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya,
BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di
pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
II.5 Faktor – Faktor
Penyebab Krisis Moneter
Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut
menggambarkan bahwa sesuatu yang terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu
pula dengan adanya krisis yang terjadi, pasti ada faktor-faktor yang
menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis dari faktor-faktor ini diperlukan,
karena untuk menangani krisis tersebut tergantung dari ketepatan diagnosa. Ada
beberapa pendapat mengenai faktor-faktor tersebut, antara lain :
1.Ada sekelompok
peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan Reinhart (1996),
dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama suatu krisis ekonomi
adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari Negara yang
bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan terus menerus
dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas normal.
2.Anwar Nasution
(1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri
ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya krisis
finansial.
3.Ada kelompok peneliti
lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria (1998), dan Obstfeld
(1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi karena hancurnya sistem
penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya
baik.
4.Bank Dunia melihat
adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju kea rah
kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara lain,
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997,kelemahan
pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam
menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik
dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
5.Lepi T.Tarmidi
berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam. Selain itu, ada beberapa
faktor lainnya menurut
kejadiannya, antara lain
:
a. Dianutnya sistim devisa
yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, yang memungkinkan arus
modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas.
b. Tingkat depresiasi
rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991)
antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah fakta nilai tukar,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
c. Akar dari segala
permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah
sistim perbankan nasional yang lemah.
d. Permainan yang
dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal hedge funds tidak mungkin dapat
dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu,
karena prakek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil
bermain dalam jumlah besar.
e. Kebijakan fiskal dan
moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas
intervensi.
f. Defisit neraca
berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang
disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari
ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
g. Penanaman modal asing
portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran yang diiming-imingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil, kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
h. IMF tidak membantu
sepenuh hati dan terus menunda pengucuran bantuan yang dijanjikannya dengan
alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Dan
Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga menunda bantuannya
menunggu signal dari IMF.
i. Spekulan domestik
juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
j. Terjadi krisis
kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli
dollar AS, agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bias menarik keuntungan
dan merosotnya nilai tukar rupiah.
k. Terdapatnya
keterkaitan erat dengan Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS.
II.6 Dampak Krisis
Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena
imbas krisis moneter yang menimpa dunia
khususnya Asia Tenggara.
Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu
menghadapi krisis global
tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap
dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank
bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah
tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana
KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan
internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta
banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh
tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang
melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN,
biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka
kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan
pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga
barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.Selain
memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum
impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan
pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan
lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi
industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan.
Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah
(UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit
usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan
mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk
kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari
jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.
- Masa Reformasi
(Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan
Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan
Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami
perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil
dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan
dengan keadaan.Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi
belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.
Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada
masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati. Masa kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan
adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh
untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a)Meminta penundaan
pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan
mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi
BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis
dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa
ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan
korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di
Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional. Masa Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi
subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke
subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu
menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT)
bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh
untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang
investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu,
yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes,
investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke
sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Masalah pemanfaatan
kekayaan alam.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno
tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa
Indonesia belum mampu
atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah SDA tetap berada
di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak
cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu
dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno
tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan
asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.Pada masa Orde
Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa digadaikan;
digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak
dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras
murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat
rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan
pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak
tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif.
Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi
kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang
tertentu (kroni) secara
tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa
yang memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula
bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per
dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.Masa Reformasi krisis ekonomi parah
sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah
menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan
korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya
terlalu “bebas”). Media masa menjadi terbuka.Yang memimpikan kembalinya rezim
totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege
dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan
yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat
dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.
Sistem
pemerintahan
Orde lama : kebijakan
pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan kepada
pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan
masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing,
fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila,
kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan.
Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan
yang menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah
Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde
Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita
masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru
dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua
ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis
demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu
yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan
otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru
“terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi
masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen
pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi,
pembatasan partai poltik, kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah
sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya
kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi
daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa
orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
II.7 Krisis Ekonomi Masa
Pemerintahan Joko Widodo
Demonstrasi dan protes
meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah mendesaknya pulang ke
Solo karena gagal dan memalukan warga Solo. Indonesia dibayangi krisis
ekonomi warisan eras SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter
1997, utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa
lindung-nilai. Banyak pula dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka
panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi. Sampai menjelang krismon 1997, kinerja
lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong. Asetnya melejit sangat
cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik bank pun tampak
sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala sektor.
Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah
menjadi negara makmur. Tapi semua itu mulai berantakan pada Agustus 1997,
ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS. Kredit macet dan harga-harga
barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk. Demikian hebatnya amuk rakyat
ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak
berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di berbagai
kota, Suharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krismon
1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar negeri swasta lebih besar
ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136 miliar. Sama
seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat
jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.Celakanya, tak sedikit dari utang Valas
tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah atau panjang.
Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut berbentuk rupiah.
Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang belakangan ini menjamur
dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari pembangunan perumahan, mal,
superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila nanti rupiah jeblok berkelanjutan,
kredit macet bakal melesat dan banyak proyek berhenti di tengah jalan. PHK
massal pun tak terelakkan! Bisa dipastikan, lembaga-lembaga akan mengalami
kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak sanggup menanggung kredit
macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan: mengambil langkah
penyelamatan dengan menalangi kredit macet para kreditor, atau membiarkan
kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century, kedua pilihan mengandung resiko
berat. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa membuat para pengambil
keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan bisa masuk penjara. Bila
memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia keuangan bisa mengalami
kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan asing.
Berdasarkan kasus Bank Century itulah, Ketua
umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, telah
berulang kali mengingatkan bahwa UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
harus segera dibuat. Tanpa JPSK, menurut Sigit, ketika terjadi krisis keuangan
tak ada pejabat yang berani mengambil keputusan karena takut diadili secara
politis dan pidana.
Sigit berharap agar UU
JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak menentukan telah
terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Tapi Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini segala sesuatu
bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat. Kini secara
umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih dalam kondisi
sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan. Salah satunyanya
adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014. Laba perbankan
swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun 7,06% dari Rp
28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta
yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan perolehan Rp 16,49
triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan
pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank
swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun
di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65%
menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank
terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih mencetak pertumbuhan
laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun lalu naik
12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35% menjadi Rp
24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1%
menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan
penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau
turun 28,59%. Sementara itu merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit,
batubara dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar
waspada terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga
komoditas-komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini
karena minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia,
dan minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa
yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke yang lain. Kemacetan
KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit macet adalah 5%.
Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30% menjadi Rp 20
trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah juga tak lagi
menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang
diberi kepercayaan menyalurkan KUR .
Selain kerugian yang
dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah, nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$. Ini
merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis
ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko
Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan
oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya perekonomian Amerika
Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini membuat
dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang ‘pulang kampung’. Sehingga tak
hanya rupiah, tapi banyak mata uang di duna yang juga melemah terhadap
dolar.Namun analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang
terjadi. Berikut rangkumannya seperti dikutip,
1.Akibat Pernyataan
Gubernur Bank Indonesia (BI)
Khoon Goh, Senior FX
Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas dari pernyataan
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu. Agus sempat
menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan
tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar
mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan
moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI
Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang
menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang membuat
rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu
lebih banyak arus modal keluar,” tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17
Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah
melemah sampai 0,56%.
2. Pudarnya Jokowi
Effect
Ada faktor lain yang
menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar saat ini sudah mulai
rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai
presiden, atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar. “Euforia atas
kemenangan Presiden Joko Widodo tidak bertahan lama,” ujar Khoon Goh, Senior FX
Strategy dari ANZ. Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar
keuangan Indonesia menikmati ‘guyuran’ arus modal masuk (capital inflow).
Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni hingga 23 Juli.
Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi Effect sudah
terkikis. Apalagi fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya
defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto
(PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Goh.
3. Dolar Bisa Menyentuh
Rp 13.250
Fundamental ekonomi
Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada
di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu
tidak berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya
dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu
‘perkasa’ terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index
(perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik
tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah
masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di
posisi Rp 13.250/US$.
KESIMPULAN
Indonesia mengalami
krisis moneter bukan baru sekali ini saja. Sebagai salah satu Negara
berkembang, Indonesia sudah sering mengalaminya. Krisis yang paling parah
terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu, Indonesia berada dibawah
pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), dimana kebijakan-kebijakan
ekonominya telah menghasilkan kemajuan ekonomi yang pesat. Namun disamping itu,
kondisi sektor perbankan memburuk dan semakin besarnya ketergantungan terhadap
modal asing,termasuk pinjaman dan impor, yang membuat Indonesia dilanda suatu
krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Keadaan ini kemudian diperburuk dengan
adanya krisis nilai tukar bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar
menguat. Penguatan nilai tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan
nilai tukar rupiah semakin anjlok.
Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu
terjadi. Namun ada dua aspek penting yang menunjukkan kondisi fundamental
ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni saldo transaksi berjalan dalam
keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan adanya utang luar
negeri jangka pendek yang tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo.
Terjadinya krisis ini menimbulkan dampak positif dan
negatif terhadap perekonomian Indonesia, di dalam segala aspek kehidupan. Namun
secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini lebih
besar daripada dampak positif yang ditimbulkan.
Dalam menangani krisis ini, pemerintah tidak dapat
menanganinya sendiri. Karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai
menipis. Oleh karena itu, pemerintah meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah
bank sentral dunia yang fungsi utamanya adalah membantu memelihara stabilitas
kurs devisa Negara-negara anggotanya dan tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir
bagi bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.konfrontasi.com/content/tokoh/indonesia-era-jokowi-dibayangi-krisis-moneter-warisan-era-
sby-mau-kemana-wong-solo#sthash.ZvAZIsDV.dpuf
http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
http://accounting-media.blogspot.com/2013/01/penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-1997.html
http://ekonomikro.blogspot.com/2010/09/kebijakan-ekonomi-pada-masa-orde-lama.htmlhttp://www.konfrontasi.com/content/tokoh/indonesia-era-jokowi-dibayangi-krisis-moneter-warisan-era-sby-mau-kemana-wong-solo
http://www.academia.edu/3827540/KRISIS_EKONOMI_INDO_2
https://gentagboy.wordpress.com/about/tugas-makalah/krisis-ekonomi/
http://www.slideshare.net/annasherley/kelompok-3-makalah-krisis-ekonomi
http://www.academia.edu/5885776/Makalah_Ekonomi
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5438babf57286/menanti-kebijakan-antisipasi-krisis-di-era-jokowi
Ini adalah tugas
kelompok Mata Kuliah Perekonomian Indonesia yang membahas KRISIS EKONOMI TAHUN
1997 SAMPAI SEKARANG.
NAMA : Saraswati .H
NPM : 2A214047
KELAS : 1EB28
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.